Abraham Lincoln

By Admin


Oleh: Makmur Gazali  

nusakini.com - BARANGKALI hidup memang senantiasa menyimpan aroma tragedi dalam cetakan nasib manusia. Apa boleh buat. Tapi di suatu tempat dan zaman, kisah semacam ini kerap membikin kita merasakan sejenis  “rasa mual”  yang aneh. Zaman di mana yang bernama ‘kebencian’ itu menjadi bagian yang bisa sewaktu-waktu meluluh-lantakkan seluruh nasib kemanusiaan kita sampai berada pada titik paling nadir.

Di Amerika Serikat,  benua yang dianggap telah menjadi “corong demokrasi” bahkan juga tidak bisa melepaskan diri dari sejarah kebencan itu. Pada suatu malam, 14 April 1865, Abraham Lincoln, sang presiden Amerika itu, bersama istrinya, Mary Todd Lincoln dan ditemani seorang kolega, Mayor Henri  dan tunangannya mendatangi Teater Ford  di Washington DC untuk menyaksikan sebuah pertunjukan teater.

Di tengah pertujukan teater itu, seorang  John Wilkes Booth, diam-diam menyelinap memasuki gang di bagian belakang balkon dan menuju pintu tempat Lincoln. Dari saku jasnya, Booth,  meraih pistol yang telah dipersiapkannya. Dan ketika ruang teater itu bergemuruh  gelak tawa penonton, pistol itu "menyalak" tepat di belakang kepala Lincoln dari jarak demikian dekat.

Lalu segalanya seperti sebuah adegan dengan ending yang memilukan. Kebencian menjadi sebuah “perayaan” atas nasib manusia di bumi ini. Kebencian seorang Booth memang hadir bersama gulungan fanatisme yang meradang. Rasa dendam yang lahir dari kepicikan memandang hidup serta ketakbisaan menerima perbedaan.

Lincoln memang hadir dari sebuah zaman yang masih merangkak dalam melihat  dan menerima keberagaman manusia. Sosoknya yang tirus itu seperti bagian yang demikian rapuh untuk zaman yang masih banyak dibungkus oleh kebencian. Lincoln hadir di zaman itu. Membongkar banyak “tembok” yang memisahkan nasib manusia yang dilumpuri oleh perbudakan.  Meletakkan persamaan hak manusia  dalam setiap jengkal perjuangannya.  Dan di sana Lincoln memang harus berhadapan dengan kebencian itu sendiri.

Agaknya, alur sejarah memang selalu meletakkan jejak-jejak memilukan dalam nasib manusia. Sebentuk ironi dengan garis-garis kelabu dalam bingkai sejarah. Lincoln --seperti banyak tokoh pembaharu lain-- harus menapaki “ruang sunyi”  dari keyakinannya bahwa manusia itu diciptakan dengan penuh cinta dan kebaikan. Kebencian seorang Booth adalah bahasa manusia yang paling “gelap” dari sisi kelam kemanusiaan kita. Dia lahir dari cara yang aneh dalam melihat eksistensi kemanusiaan itu sendiri : Fanatisme dan rasa benci yang meluap.

Namun bagaimanapun, Lincoln adalah sebentuk kecil dari sisi kemanusiaan kita yang paling murni. Semacam harapan bahwa manusia memang terlahir baik dan di atas segalanya memiliki hak azasi yang sama. Inilah suara yang senantiasa mengalir jauh sejak para Nabi meletakkan sendi-sendi spiritualitas langit. Suara kemanusian yang paling murni namun sekaligus paling sunyi.* (penulis adalah jurnalis)